guffy cell community,
 
 
1. KONSUMTIF

Sebenarnya wacana tentang fenomena masyarakat konsumsi, lahir dari spirit ilmuan sosial Post-Modernisme Eropa yang menafsir fenomena sosial di bawah kungkungan kapitalisme glogal, yang saat ini menjadi kekuatan dominan di dunia Internasional baik politik mau pun ekonomi. Jika dulu fenomena keberlangsungan ekonomi dunia (paska perang dunia II) menitik beratkan pada peningkatan aktivitas produksi, namun sekarang sudah bergeser menjadi orientasi konsumsi yang berlebihan.

Kita ketahui bersama bahwa di era pemasaran iklan ini, kekuatan kapitalisme, sebagai kekuatan dominan penguasaan ekonomi politik, sudah mengeserkan orientasi mereka lebih kepada bagaimana melakukan pemasaran yang efektif untuk mendapatkan peningkatan efektivitas konsumsi dari masyarakat dunia (kapitalisme lanjut). Aktivitas produksi mereka, sudah di serahkan kepada masyarakat dunia ketiga ( Negara-negara berkembang termasuk Indonesia). Fenomena ini dapat digambarkan ketika bertumbuhnya pabrik-pabrik produk luar di Indonesia, dengan melakukan pemanfataan pada wilayah buruh murah dan eksploitasi sumber daya alam di tanah air.

Hal ini juga tidak bisa terlepas dari regulasi kebijakan dalam negeri Indonesia sendiri yang membangun kekuatan ekonominya, sangat bergantung kepada investasi asing yang menjanjikan kesejahteraan semu bagi masyarakat. Ketergantungan ini sudah terbukti gagal ketika krisis ekonomi pada beberapa tahun lalu. Standarisasi kesejahteraan, dinilai dari bertumbuhnya infrastuktur yang megah, ruang public baru seperti mal-mal dan pusat perbelanjan .

Lihat saja kehidupan dikota-kota besar. Kemiskinan merupakan hal biasa dan kesenjangan sangat terbuka lebar. Kemagahan-kemegahan yang ditimbulkan dari system ekonomi dalam negeri yang tergantung pada Investasi asing dan orientasi persaingan pasar bebas ini, membuat potensi kekuatan ekonomi local seperti pengusaha-penusaha local atau kekuatan ekonomi lain (keturunan Arab dan Cina) menjadi kelompok masyarakat kedua dilapisan ekonomi, setelah bangsa Amerika dan Eropa. Akhirnya yang terjadi, yang memiliki kesempatan untuk menggarap potensi lokalitas baik sector ekonomi industri mau pun pemanfataan sumber daya alam, kelas pertamalah yang mendapat kesempatan terlebih dahulu. Akibat yang ditimbulkan adalah, terjadi pengerucutan kekayaan pada kelompok tertentu (kelompok asing barat dan orang-orang yang memiliki akses kekuasaan) dan malah memiskinkan kelompok lain, yang nota benenya adalah masyarakat asli pada umumnya.

Kembali pada masyarakat konsumsi. Industrialisasi perdagangan kekinian, sangat syarat dengan strategi pemasaran iklan yang luar biasa kencang. Logika pemasaran iklan ini mampu menembus sendi kehidupan masyarakat dengan berupaya menciptakan gaya hidup modern yang berkiblat pada referensi-referensi yang hadir lewat teknologi media Informasi. Pada tahapan seperti ini, masyarakat seakan tidak diberikan pilihan lain selain mengikuti trend gaya hidup yang sudah di stel atau di atur oleh para ahli marketing produk-produk yang telah disediakan. Polah marketing modern ini merubah pola pikir masyarakat menjadikan seluruh produk yang dihasilkan harus dalam koridor barang primer , walau terkadang produk atau barang tersebut sebenarnya, tidak terlalu dibutuhkan oleh kelompok masyarat.

Fenomena yang paling menarik adalah ketertundukan masyarakat pada gedung-gedung megah pusat perbelanjaan, ketergantungan pada perangkat-perangkat multi media seperti HP berkamera, kamera digital, rumah dengan desain Eropa, mobil import dengan paket kredit yang memudahkan pembelian dan masih banyak lagi yang akhirnya memainkan hasrat para objek marketing, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Dunia periklanan modern lebih mejual imej atau pencitraan dibanding menjual produk secara substansial. Seorang ibu rumah tangga akan terlihat mengikuti trend ketika dia bisa menikmati masakan-masakan siap saji yang disuguhkan di berbagai pusat perbelanjaan. Merek merupakan pencitraan eksistensi kedirian masyarakat konsumsi. Seseorang akan merasa risih ketika merk HP-nya tidak terlalu terkenal dan tidak mengunakan kamera. Penjualan pencitraan ini menggeser kesadaran masyarakat lebih kepada aktivitas bermimpi dibanding membeli.

Kekuatan-kekuatan bahasa iklan tersebut, membuat masyarakat teralienasi atau terasing dari eksistensi dirinya sendiri. Bahasa pesan dalam iklan menyiratkan sesuatu yang semu, penekanan dan keterasingan juga mimpi-mimpi. Sturuktur dalam bahasa-bahasa pesan menunjukan "penekanan" dan tidak dalam proses "dialog" yang dua arah. Masyarakat seakan hanya diberi pilihan dan mimpi. Setelah itu dibiarkan menjadi kaku dengan gambaran keterdesakan gaya hidup yang sudah ditawarkan.

 

2. GENGSI

Kelas atau tipe konsumen seperti apakah yang membutuhkan gengsi. Dugaan kita, pastilah konsumen yang relatif kaya. Ini mudah dimengerti karena mereka memiliki daya beli yang lebih besar. Dengan demikian, mereka memiliki kemampuan untuk pamer. Mereka pamer kepada konsumen lain yang tidak mampu membeli atau sekedar ingin menyampaikan pesan bahwa mereka telah mencapai tingkatan status yang lebih tinggi.

Memang, untuk urusan gengsi ini, karakter konsumen Indonesia relatif terlihat menonjol. Tidak mengherankan, banyak merek produk yang seharusnya tidak banyak terjual di Indonesia, tetapi tetap saja memiliki pasar yang besar. Tengok saja beberapa mall besar di Indonesia. Banyak produk-produk bermerek internasional yang terlihat di sana. Melihat gerainya yang cukup besar, pastilah mereka memiliki permintaan yang cukup besar.

You are what you drive”

            Ini adalah suatu slogan yang tidak banyak diucapkan tetapi terlihat nyata. Pasar Indonesia memiliki mobil yang sangat bervariasi. Untuk ukuran negara dengan pendapatan per kapita yang masih rendah, jumlah mobil mewah yang berada di jalanan relatif terlalu besar. Ini terjadi karena banyak konsumen melihat mobil bukan pada fungsinya tetapi apakah mobil tersebut membantu mereka menaikkan status mereka.

“ User posted image “

 

Di banyak perusahaan, mobil adalah simbol dari pangkat, jabatan dan besarnya gaji yang mereka terima. Mobil untuk direksi haruslah berbeda dengan mobil untuk para GM nya. Demikian pula, mobil untuk GM, haruslah berbeda dengan para manajernya dan seterusnya. Ini sungguh berbeda dibandingkan dengan banyak negara, terutama di negara barat. Tengok saja Australia. Lima belas tahun yang lalu, banyak sekretaris memiliki mobil yang lebih baik dari para manajernya dan bahkan dibandingkan dengan para pimpinan puncaknya. Kadangkala, para pimpinan puncak tidak membawa mobil. Atau mereka hanya membawa mobil hingga ke stasiun kereta api dan kemudian memarkir kendaraannya di stasiun dan kemudian menggunakan kereta api menuju kantor. Tidak ada yang aneh dengan fenomena ini. Status dan wibawa atasan, tidak jatuh karena hanya masalah mobil ini. Mereka melihat mobil sebagai alat transportasi atau sebagian memilih menggunakan mobil yang bagus karena kenyamanannya. Saya yakin, 80% pemilik mobil mewah di Indonesia, mereka membeli mobil karena gengsinya.

Audi, mobil yang baik dan berkelas. Di Eropa, ini adalah merek mobil yang sejajar dengan BMW dan Mercedes. Barangkali mungkin memang karena kualitas merek mobil sama baiknya dengan BMW. Tapi, mobil ini jelas relatif tidak memiliki gengsi seperti BMW. Akibatnya, penjualan mobil ini relatif tidak seperti yang diharapkan oleh perusahaan ini. Ini contoh nyata betapa faktor gengsi masih mendominasi pasar Indonesia.

Banyak mobil-mobil di Indonesia, melakukan iklan yang bukan hanya ditujukan kepada calon pembeli tetapi juga kepada mereka yang tidak mampu membeli. Mengapa? Ketika faktor gengsi menjadi hal yang penting, maka sebuah mobil haruslah memiliki awareness dan citra yang baik di mata masyarakat. Karena gengsi, maka pemilik mobil saat mempertimbangkan untuk membeli mobil, mereka selalu mempertimbangkan bagaimana orang lain melihat mereka. Mereka kurang peduli dengan kualitas produk, teknologi yang dipakai dan sebagainya, tetapi pertimbangan yang besar adalah bagaimana orang lain melihat mereka. Apakah sudah cukup berkelas atau tidak. Mereka membayangkan apa kata kawan-kawan mereka bila melihat mobil tersebut. Mereka membayangkan apa kata tetangga bila menggunakan mobil tersebut. Mereka membayangkan bagaimana petugas hotel dan valley akan melayani mereka. Mereka membayangkan bagaimana kawan-kawan yang biasa bermain golf akan katakan bila dia menggunakan mobil tersebut.

Salah satu cara menjelaskan kebutuhan gengsi bisa dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Maslow yang dikenal dengan tingkatan kebutuhan manusia. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan yang paling dasar dari manusia adalah kebutuhan fisik. Ini adalah kebutuhan yang berhubungan dengan makanan dan minuman. Setelah itu, adalah kebutuhan yang bersifat keamanan dan perasaan telah terbiasa dengan lingkungan sekitar. Setelah itu adalah kebutuhan bersosialisasi. Bila ini sudah tercapai maka kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan self-esteem. Mereka akan menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Kebutuhan tertinggi adalah self-actualization. Pada titik ini, mereka mulai mengisi kebutuhan yang sesuai dengan kesenangan mereka. Mereka mulai membagi dengan orang lain dan tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang lain.

Teori Maslow ini memang sering mejadi perdebatan. Salah satunya adalah banyak yang tidak setuju bahwa kebutuhan haruslah memiliki progres seperti ini. Jadi, sebelum seseorang mempunyai kebutuhan dengan tingkat yang lebih tinggi, dia haruslah memenuhi kebutahan pada tingkat sebelumnya. Terlepas dari debat sekitar konsep ini, banyak marketer menggunakan teori ini untuk memasarkan produknya.

Produk-produk yang menjual gengsi adalah produk yang menawarkan kebutuhan self-esteem. Kebutuhan untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain.

Melihat jumlah orang kaya di indonesia, seharusnya, memang banyak produk yang tidak semestinya memiliki omset yang sebesar itu. Ini terjadi karena banyak orang yang mulai kaya, kemudian kebutuhan mengenai status cepat terjadi. Mereka cepat menaikkan tangga kebutuhan mereka yang semula hanya mencari rasa aman dan sosialisasi, menjadi pengejaran akan status walau sebenarnya belum waktunya.

Sebagai contoh adalah perbandingan antara orang Indonesia dengan Australia. Jumlah orang kaya di Indonesia adalah sekitar 200.000. Yang dimaksud dengan kaya adalah mereka yang memiliki dana likuid sebesar Rp 1 milyar. Terdapat sekitar 4000 hingga 5000, bila kemudian batas ini dinaikkan menjadi Rp 20 milyar dan hanya sekitar 200-300 saja yang memiliki kekayaan yang lebih dari Rp 200 milyar. Singapura memiliki jumlah orang kaya yang lebih banyak dari Indonesia. Demikian pula negara seperti Australia.

Tapi, lihatlah, konsumen kaya Indonesia lebih konsumtif untuk produk-produk kelas atas. Contoh yang paling nyata adalah Handphone. Indonesia menjual handphone Nokia Communicator lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya. Bahkan termasuk 3 besar di dunia, selain India. Mengapa? Handphone ini sungguh cocok bila menawarkan gengsi. Ini merupakan handphone yang relatif paling mahal untuk seri Nokia. Peringkat ini relatif cukup banyak fiturnya. Karena hanya membeli gengsi, tidak mengherankan bahwa 95% dari pemakai handphone ini, hanya menggunakan fasilitas suara dan sms. Bila demikian, seharusnya mereka menggunakan seri yang paling rendah saja. Mereka tetap memilih handphone ini karena tuntutan jabatan dan status. Bahkan dengan bentuk handphone ini yang besar, tidak menjadi masalah. Gengsi adalah kebutuhan untuk memperlihatkan kepada orang lain. Justru ukurannya yang besar inilah menjadi fitur yang pas. Jadi mereka yang membawa handphone ini, kemudian mudah memperlihatkan kepada orang lain.

Starbuck di negara asalnya, adalah kedai kopi yang menawarkan suasana. Jadi, para peminum bisa menikmati kenyamanan saat duduk dan bukan hanya sekedar rasa kopinya. Di Indonesia, sebagian dari benefit ini mulai bergeser. Ini terjadi, karena sebagian konsumen yang pergi ke kedai kopi ini memang hanya ingin mengejar status belaka. Demikian juga, banyak kafe-kafe yang berkelas, sengaja membiarkan kafenya terbuka dan mudah dilihat orang. Karena gengsi, maka banyak konsumen yang tertarik dan mereka sudah mendapatkan kepuasannya bila status mereka terangkat saat memasuki kafe-kafe yang mahal ini. Padahal, mereka bisa mendapatkan dengan harga yang jauh lebih murah dan dengan rasa yang tidak kalah. Mereka membeli gengsi, bukan membeli makanan dan minumannya.

 

 

Lalu, apa yang menyebabkan gengsi ini?

Pertama sudah pasti karena budaya dan norma kita. Paling tidak ada ketiga budaya dan norma yang membuat gengsi ini menjadi kebutuhan yang cepat terjadi. Pertama, konsumen Indonesia menyukai untuk sosialisasi. Ini kemudian mendorong seseorang untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer.

Kedua, kita masih menganut budaya feodal. Inilah yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya, terjadi pemberontakan untuk cepat pindah kelas. Walau belum sesungguhnya pindah kelas, tetapi bisa dimulai dengan pamer terlebih dahulu.

Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan adalah dengan materi dan jabatan. Akhirnya, banyak di antara kita ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan banyaknya materi yang dimiliki.

Pendorong dari budaya ini adalah gencarnya iklan dan promosi yang menempatkan gengsi sebagai bagian utama. Akibatnya, konsumen yang sudah memiliki potensi untuk mementingkan gengsi, dengan cepat untuk belajar bahwa gengsi adalah hal yang penting.

     Dewasa ini sebagian dari masyarakat Indonesia sangat lekat dan tidak dapat terlepas dari alat komunikasi yang bernama handphone, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan "hape". Tidak seperti sepuluh tahun yang lalu dimana handphone masih menjadi barang yang mewah karena yang memilikinya hanya masyarakat kalangan tertentu saja, sepeti masyarakat kalangan menengah keatas misalnya. Tetapi bisa dilihat sekarang dimanapun dan kapanpun, handphone sudah bukan menjadi barang mewah lagi. Dari berbagai kalangan seperti ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak kantoran, tukang bakso, soto, sate, pelajar SD SMP SMA dan bahkan anak TK yang masih ingusan juga memiliki handphone.

     Handphone sendiri dari tahun ketahun semakin canggih saja. Harga yang ditawarkannya pun juga terjangkau untuk kalangan masyarakat. Namun memang ada beberapa merk handphone yang saat ini tengah digandrungi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Terutama pada kalangan remaja. Handphone "Qwerty" misalnya.. Handphone ini memiliki keunggulan dengan dapat menggunakan dua kartu sekaligus. Selain tipe handphone ini, handphone yang memang sedang trend baru-baru ini adalah smartphone seperti Blackberry, Android Phone dan iPhone. Di smartphone ini konsumen handphone disuguhi dengan beberapa fitur internet yang menarik, seperti akses jejaring sosial via handphone yang mudah diakses dan praktis dimanapun dan kapanpun anda berada. Jadilah berjuta warga Indonesia yang selalu dekat dan tidak dapat terpisahkan dengan handphonenya untuk sekedar membuka facebook, mengupdate status, mengomentari status teman atau mengupload foto-foto terbaru, ngetwitter untuk meretweet status-status yang disukai.

     Barang kecil yang banyak manfaatnya ini kini telah menjadi bagian dari budaya konsumsi masyarakat Indonesia. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa handphone sangat membantu komunikasi dan membantu memudahkan pekerjaan seseorang. Bahkan handphone dapat menjadi trend di kalangan masyarakat, sebagai gaya hidup, sarana hiburan dan sarana bersosialisasi tanpa harus bertatap muka. Kini trgantung kita sendiri apakah akan tenggelam mengikuti arus perkembangan jaman atau berenang dengan memanfaatkan arus global itu.

 
    Sebelum membahas bagaimana semua orang bisa menjadi kaya, kita harus sepakat terlebih dahulu mengenai definisi kaya. Kaya adalah relatif. Sebagian orang merasa kaya ketika mempunyai uang sepuluh juta rupiah. Sebagian orang merasa tidak kaya walaupun sudah memiliki uang sepuluh milyar rupiah. Menurut majalah Forbes orang kaya adalah mereka yang sekurang-kurangnya mempunyai penghasilan 1 juta dolar Amerika setahun.

Robert T. Kiyosaki memiliki pendapat lain. Dia mengutip dari gurunya Buckminster Fuller dan mengatakan bahwa orang kaya tidak diukur dari berapa besar active income.

Orang disebut kaya apabila passive income-nya lebih besar daripada biaya hidup. Yang dimaksud passive income di sini adalah uang yang masuk tanpa harus bekerja.

Sebagai ilustrasi dicontohkan Mike Tyson. Ia menghasilkan US$300 juta sewaktu bertinju, tapi di tahun 2004 dia dinyatakan bangkrut dan masih punya utang sebesar US$ 35 juta. Karena itu, Mike Tyson tidak digolongkan sebagai orang kaya. Termasuk pula dalam kategori orang yang tidak kaya adalah orang yang punya penghasilan US$ 1 juta?setahun namun pengeluarannya US$1,2 juta setahun.

Anthony Robbins mempunyai pendapat lain lagi. Baginya ada 6 tahap orang bisa menjadi disebut kaya:

1) Financial Protection, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mempunyai  cukup uang untuk memenuhi pengeluaran bulanan minimum, untuk 2 bulan sampai 24 bulan tanpa harus bekerja.

2) Financial Security, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mempunyai ?investasi cukup banyak yang relatif aman, dan hasilnya dapat mencukupi kebutuhan berikut ini tanpa harus bekerja lagi, kecuali bila kita memilih untuk bekerja. Kebutuhan tersebut adalah:

Angsuran rumah

Biaya makan

Listrik, gas dan air

Transportasi

Asuransi, dan

Pajak (contoh: pajak bangunan)

3) Financial Vitality, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mencapai investasi cukup banyak yang relatif aman, dan hasilnya tidak hanya bisa mencukupi ?kebutuhan pada tingkat Financial Security melainkan juga bisa mencukupi kebutuhan berikut tanpa harus bekerja, kecuali bila kita memilih untuk bekerja. Kebutuhan tersebut adalah :

a. pendidikan anak,

b. kebutuhan hiburan atau entertainment (minimal 50% dari yang kita nikmati sekarang),

c. membeli baju baru atau satu dua barang mewah yang masuk akal.

4) Financial Independence, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mencapai iinvestasi cukup banyak yang relatif aman, dan hasilnya mencukupi kebutuhan kita?untuk hidup persis dengan gaya hidup kita yang sekarang, tanpa harus bekerja lagi seumur hidup kita. Dengan kata lain kita bebas tidak bekerja.

5) Financial Freedom, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mencapai investasi?cukup banyak yang relatif aman, dan hasilnya mencukupi kebutuhan kita untuk hidup dengan gaya hidup yang kita inginkan

6) Absolute Financial Freedom, adalah suatu kondisi keuangan dimana kita mencapai investasi cukup banyak yang relatif aman, dan karena itu kita yakin bahwa kita bisa melakukan secara nyata apapun yang kita inginkan, kemanapun kita inginkan, dengan siapapun yang kita inginkan, sebanyak dan selama yang kita inginkan.

(Dikutip dari: Tung Desem Waringin dalam bukunya: Financial Revolution)

 Financial Freedom means being able to afford such things as lavish vacations, expensive cars, boats, expensive clothes, jewelry, or luxurious homes. Their definition of financial freedom is having money to burn.


guffy cell community,